"home is where our story began"
anonim
Mencari rumah dengan lokasi yang memuaskan dan budget terbatas itu sungguh-sungguh susah.. Beruntungnya hidup di era teknologi informasi yang cukup maju, ada banyak informasi tentang rumah yang bisa didapatkan di dunia maya, sebut saja situs-situs macam olx, rumah.com, rumah123.com, lamudi.co.id, dan banyak lagi. Namun ternyata tidak semudah itu juga, karena kemudahan itu pun diikuti dengan mudahnya para penipu untuk mengeruk uang. Saya share pengalaman saya agar kita lebih berhati-hati dan semoga yang menipu segara sadar.. Amin.
Perjalanan mencari rumah yang saya lakukan pun tidak mulus, entah berapa kali saya kena tipu iklan dan berapa rupiah telah keluar untuk transportasi atau menelpon si pengiklan. Suatu kali saya melihat iklan di olx tentang rumah di daerah jagakarsa, tertarik dengan rumah itu beberapa hari kemudian saya menelpon si pengiklan dan meminta alamat lengkapnya. Perjuangan menuju ke sana pun berliku entah dari meminta izin untuk keluar di jam kerja atau perjalanan yang harus ditempuh untuk menuju lokasi. Terkejutnya saya begitu sampai di lokasi ternyata rumah tersebut harganya berbeda dengan harga yang tertera di iklan.
Kali yang kedua, terjadi pula hal yang sama. Lagi-lagi tertarik dengan iklan yang ditawarkan saya pun menuju lokasi rumah itu. Ternyata kembali lagi harga yang ditawarkan berbeda dengan harga aslinya. Entah apa maksud dari si pengiklan itu, tapi benar-benar telah membuang waktu, energi dan uang untuk mendatangi lokasi.
Cerita yang berbeda, ketika melihat iklan rumah di situ olx (lagi) saya telpon si pengiklan dan banyak mencecarnya dengan pertanyaan tidak hanya seputar dimana lokasinya. Anehnya yang mengiklan saat ini berada di Jogja dan rumah yang akan dijual itu dalam kondisi dikontrakkan. Ketika saya bertanya nomor telpon yang mengontrak, dia bahkan tidak tahu. Kecurigaan pun muncul, terlebih kemudian dia mengatakan agar nanti DP ditransfer saja. Aneh bukan? Tentu saja untuk transaksi macam ini harus bertatap muka dan tidak bisa seenaknya memberikan DP. Saya tentu saja tidak menindaklanjutinya dan si penjual masuk dalam blacklist saya.
Cerita yang cukup panjang selanjutnya. Melihat iklan di olx tentang rumah yang berlokasi di pulo gebang, saya menelpon marketingnya. Si marketing berkata bahwa rumahnya tinggal 2 lagi dan meminta saya segera ke sana untuk melihatnya. Aiih jurusan marketing yang cukup jitu, ingin tidak percaya namun kalau dia tidak bohong bagaimana? serba salah juga, dan akhirnya saya meminta izin untuk keluar melihat rumah itu. Rumahnya mini cluster dan indent meski ada beberapa rumah contoh yang bisa dilihat. Pihak marketing mengatakan bahwa pembangunan rumah bisa dilakukan selama 2 bulan saja. Sambil pamit pulang, saya mengatakan perlu berdiskusi dengan keluarga terlebih dahulu. Sampai akhirnya di awal tahun pihak marketing memberikan harga promo bagi saya. Beberapa minggu kemudian saya mengajak suami saya untuk ikut melihat rumah itu. Cukup strategis memang, dekat dengan terminal bus dan juga stasiun. Hal yang membuat saya tertarik adalah material bangunan yang cukup bagus, meski untuk pondasi belum cakar ayam. Pihak marketing meminta kami untuk membayarkan booking fee sebesar 5 juta sehingga kami bisa pilih kavling, namun kami bisa memberikan alasan dan tidak memberikan booking fee saat itu. Pihak marketing mengatakan jika nantinya membatalkan pun booking fee bisa kembali. Ini adalah pengalaman saya yang pertama membeli rumah sehingga banyak hal yang belum saya ketahui. Beberapa minggu kemudian saya pun membayar booking fee dan mendapatkan kwitansi bermaterai serta terdapat pernyataan bahwa booking fee kembali 100% apabila ada pembatalan. Tidak ada dokumen apapun yang diberikan kepada saya, padahal seharusnya jika sudah membayarkan booking fee, berhak untuk mendapatkan copy sertifikat.
Waktu berlalu dan akhirnya pihak marketing meminta saya membayarkan DP. Saya sempatkan untuk melihat lagi rumahnya dan meminta informasi yang lebih detail tentang rumah tersebut. Saat itu saya bertemu dengan pihak developernya. Saya pun diperlihatkan sertifikat tanah induk dan mengatakan bahwa saat ini sedang dalam proses pemecahan, diperkirakan awal bulan Februari sudah selesai proses pecahnya. Sempat saya berdebat dengan pihak developernya karena tidak diperbolehkan memfoto Sertifikat tersebut. Selanjutnya saya dikejar-kejar untuk membayar DP, karena jumlahnya cukup besar jadi saya berusaha untuk berhati-hati. Pihak Bank ditelpon terkait dengan proses pengajuan KPR, dan diberikan saran agar DP dibayarkan setelah KPR disetujui pihak bank. Saya menolak untuk membayarkan DP karena hal tersebut dan juga ada beberapa klausul dalam Surat Pemesanan Rumah yang tidak saya setujui. Pihak marketing meminta saya untuk melakukan revisi atas surat tersebut dan dengan masukan teman-teman, surat tersebut saya revisi dan dikirimkan balik, ternyata tidak ada sanggahan dari pihak developer. Kembali saya dikejar untuk membayar DP. Saat itu terpikirkan untuk mengambil pinjaman di koperasi di kantor karena lebih kecil cicilannya dibandingkan KPR dan pihak developer memberikan harga berbeda untuk pembelian cash dan KPR. Copy sertifikat dan proses pecah serta surat kuasa developer untuk bisa membangun di daerah tersebut pun kembali saya pertanyakan. Akhirnya dibuat janji dengan pihak marketing untuk memberikan copy surat tersebut dan selanjutnya saya akan meminta notaris untuk mengecek dokumen tersebut. Ternyata ada miscommunication tekait hal itu, marketing menginfokan pada developer bahwa DP akan dibayar saat itu di depan notaris (mungkin si marketing didesak oleh developer juga).
Di hadapan notaris, developer menceritakan dan memperlihatkan sertifikat tanah induk. Cerita yang berbeda dengan yang dulu saya tahu. Sertifikat tanah induk ternyata atas nama orang sudah meninggal dan meski sudah ada surat kuasa ahli waris yaitu keponakan-keponakannya namun BPN meminta ada putusan pengadilan terkait dengan ahli waris. Jadi sebelum ada putusan pengadilan tidak bisa dibuat sertifikat atas nama ahli waris. Tidak hanya disitu saja, masih diperlukan juga surat kuasa jual dari ahli waris ke developer (karena developer tidak ingin dua kali membayar pajak jadi tidak dibalik namakan lagi), sehingga proses pecah pun belum diurus. Setelah itu, kembali lagi saya didesak kapan memberikan DP, saya meminta tempo (sebenarnya saya sudah ingin membatalkan saat itu karena saya merasa ditodong padahal cerita yang hari itu saya dapat berbeda dengan yang sebelumnya diceritakan). Notaris memberikan saran agar jika jadi mengambil rumah itu, maka harus ada klausul batas waktu tentang surat-surat dan jika dalam batas waktu itu surat belum ada maka dianggap batal dan semua pembayaran dikembalikan. Ketika berdiskusi lebih lanjut dengan keluarga, akhirnya diputuskan untuk membatalkan pemesanan rumah. Paginya menelpon developer untuk membatalkan, dan terlihat sekali sangat marah sampai sempat bilang ada pemufakatan jahat.
Kalau dipikir-pikir padahal harusnya saya bilang seperti itu, karena dia tidak memberitahukan dari awal tentang status rumah, hanya bilang sedang dalam proses pecah. Uang booking fee dikembalikan 100% namun developer menuntut karena waktunya terbuang percuma serta meminta ganti transportasi ketika ke notaris (hello, padahal saya juga keluar waktu, uang, tenaga juga). Akhirnya saya bilang agar dipotong 20% dari DP, baru dia agak tenang dan meminta agar menghubungi marketing terkait pengembalian DP. Marketing pun dihubungi, katanya pengembalian booking fee setelah kavlingnya terjual (oh My God), padahal hal tersebut tidak disebutkan di awal. Ini benar-benar developernya jahat karena memanfaatkan ketidaktahuan pembeli. Seperti yang dulu saya bilang manis di awal, pahit kemudian..
Waktu berlalu dan akhirnya pihak marketing meminta saya membayarkan DP. Saya sempatkan untuk melihat lagi rumahnya dan meminta informasi yang lebih detail tentang rumah tersebut. Saat itu saya bertemu dengan pihak developernya. Saya pun diperlihatkan sertifikat tanah induk dan mengatakan bahwa saat ini sedang dalam proses pemecahan, diperkirakan awal bulan Februari sudah selesai proses pecahnya. Sempat saya berdebat dengan pihak developernya karena tidak diperbolehkan memfoto Sertifikat tersebut. Selanjutnya saya dikejar-kejar untuk membayar DP, karena jumlahnya cukup besar jadi saya berusaha untuk berhati-hati. Pihak Bank ditelpon terkait dengan proses pengajuan KPR, dan diberikan saran agar DP dibayarkan setelah KPR disetujui pihak bank. Saya menolak untuk membayarkan DP karena hal tersebut dan juga ada beberapa klausul dalam Surat Pemesanan Rumah yang tidak saya setujui. Pihak marketing meminta saya untuk melakukan revisi atas surat tersebut dan dengan masukan teman-teman, surat tersebut saya revisi dan dikirimkan balik, ternyata tidak ada sanggahan dari pihak developer. Kembali saya dikejar untuk membayar DP. Saat itu terpikirkan untuk mengambil pinjaman di koperasi di kantor karena lebih kecil cicilannya dibandingkan KPR dan pihak developer memberikan harga berbeda untuk pembelian cash dan KPR. Copy sertifikat dan proses pecah serta surat kuasa developer untuk bisa membangun di daerah tersebut pun kembali saya pertanyakan. Akhirnya dibuat janji dengan pihak marketing untuk memberikan copy surat tersebut dan selanjutnya saya akan meminta notaris untuk mengecek dokumen tersebut. Ternyata ada miscommunication tekait hal itu, marketing menginfokan pada developer bahwa DP akan dibayar saat itu di depan notaris (mungkin si marketing didesak oleh developer juga).
Di hadapan notaris, developer menceritakan dan memperlihatkan sertifikat tanah induk. Cerita yang berbeda dengan yang dulu saya tahu. Sertifikat tanah induk ternyata atas nama orang sudah meninggal dan meski sudah ada surat kuasa ahli waris yaitu keponakan-keponakannya namun BPN meminta ada putusan pengadilan terkait dengan ahli waris. Jadi sebelum ada putusan pengadilan tidak bisa dibuat sertifikat atas nama ahli waris. Tidak hanya disitu saja, masih diperlukan juga surat kuasa jual dari ahli waris ke developer (karena developer tidak ingin dua kali membayar pajak jadi tidak dibalik namakan lagi), sehingga proses pecah pun belum diurus. Setelah itu, kembali lagi saya didesak kapan memberikan DP, saya meminta tempo (sebenarnya saya sudah ingin membatalkan saat itu karena saya merasa ditodong padahal cerita yang hari itu saya dapat berbeda dengan yang sebelumnya diceritakan). Notaris memberikan saran agar jika jadi mengambil rumah itu, maka harus ada klausul batas waktu tentang surat-surat dan jika dalam batas waktu itu surat belum ada maka dianggap batal dan semua pembayaran dikembalikan. Ketika berdiskusi lebih lanjut dengan keluarga, akhirnya diputuskan untuk membatalkan pemesanan rumah. Paginya menelpon developer untuk membatalkan, dan terlihat sekali sangat marah sampai sempat bilang ada pemufakatan jahat.
Kalau dipikir-pikir padahal harusnya saya bilang seperti itu, karena dia tidak memberitahukan dari awal tentang status rumah, hanya bilang sedang dalam proses pecah. Uang booking fee dikembalikan 100% namun developer menuntut karena waktunya terbuang percuma serta meminta ganti transportasi ketika ke notaris (hello, padahal saya juga keluar waktu, uang, tenaga juga). Akhirnya saya bilang agar dipotong 20% dari DP, baru dia agak tenang dan meminta agar menghubungi marketing terkait pengembalian DP. Marketing pun dihubungi, katanya pengembalian booking fee setelah kavlingnya terjual (oh My God), padahal hal tersebut tidak disebutkan di awal. Ini benar-benar developernya jahat karena memanfaatkan ketidaktahuan pembeli. Seperti yang dulu saya bilang manis di awal, pahit kemudian..
0 comments:
Post a Comment